[Resensi Kumcer] Pernikahan : Pertanyaan Yang Sering Meneror Usia 26

Foto Kumcer Apa Yang Kita Bicarakan Di Usia 26 by Senja Bahasa

Judul                     : Apa Yang Kita Bicarakan Di Usia 26?

Penulis                   : Ade Ubaidil

Penerbit                : Epigraf

Cetakan                 : Ke-1                                                  

Tahun Terbit         : 2019

Tempat Terbit      : Jakarta

ISBN                    : 978-623-7285-02-1

Tebal                    : 164 halaman

Ukuran                  : 11.5 x 18 cm

Harga                    : Rp 49.900,00

Rating                   : 3.7⭐/5⭐

Kamu kapan menikah?

Kapan, nih, nyusul?

Teman-teman kamu sudah punya anak 3, kamu kapan kenalin ke Bapak dan Ibu?

Apa yang kamu rasakan ketika mendapatkan rentetan pertanyaan seperti itu dari orang-orang di sekitarmu? Mungkin kamu bakal merasa sebal, kesal, malu, dan marah. Apalagi pertanyaan itu keluar dari mulut mantan kekasih yang sialnya susah kamu lupakan dan kurang ajarnya lagi dengan senyum merekah doi memberikan undangan pernikahannya bersama tambatan hatinya saat ini. Double sial ngga sih?

Barangkali rasa kesal itulah yang membuat tokoh Badrun dalam cerpen Seni Hidup Lelaki Bujang lebih memilih jarang pulang kampung atau Bayu dalam cerpen Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26? yang memutuskan untuk menyibukkan diri dan mengejar karir dan mimpinya alih-alih sebagai upaya melupakan mantan tetapi sebenarnya usaha “melarikan diri” untuk tidak mendengar bujukan dari  keluarga dan sobatnya untuk segera menikah.

Kemarin-kemarin, setiap kali aku pulang ke rumah orang tua, baik Ibu, Ayah, kakak bahkan nenekku, mereka selalu saja memaksa aku untuk menikah. Aku sudah duapuluh enam dan kenapa pilihan hidupku harus orang lain yang memutuskan?” -hlm 160

Judul utama yang diambil dari salah satu cerpen di dalamnya saya kira tepat. Judulnya menarik, membuat orang penasaran. Banyak orang di luar sana sering mendapat pertanyaan seperti di atas. “Kapan menikah?” “Kapan lulus?” “Kok kamu belum punya anak?”, dan sebagainya. Sebenarnya pertanyaan semacam itu tidak hanya didapat oleh seseorang yang berusia 26 tahun saja. Awal duapuluhan biasanya sudah mulai mendapatkan teror pertanyaan semacam itu. Di saat 26 tahun mungkin intensitasnya semakin gencar, level 9, lampu merah. Salah satu penyebab fenomena teror pertanyaan itu adalah adanya “patokan” dalam masyarakat yang sebenarnya tidak jelas sumbernya, jluntrungannya tetapi anehnya diterapkan sebagai ukuran kesuksesan seseorang. Alih-alih patokan hidup ideal, sukses yang terjadi malah sebaliknya, membebani. Tidak bisa nasib seseorang disamakan dengan orang lain, digebyar uyah, dipukul rata. Mungkin maksud si penanya baik, mengingatkan, atau hanya sekadar obrolan basa-basi tetapi bagi yang ditanya belum tentu. Bisa menjadi terasa membebani, menjengkelkan, bahkan berakibat depresi. Oleh sebab itu, tidak heran apabila banyak anak muda usia 20-an yang mengalami Quarter-life crisis.

Saya tidak mengira jika kumcer ini ditulis oleh penulis yang masih muda (20-an). Saya sungguh mengapresiasi tulisan Ade Ubaidil ini. Pasalnya saya jarang menjumpai penulis generasi milenial yang menulis cerita dengan gaya realisme. Mengingat saat ini tidak sedikit penulis yang lebih mengaburkan batas antara kehidupan nyata dengan yang sekadar rekaan. Sementara penulis buku dengan tebal 164 halaman ini berhasil mengangkat sesuatu sesuai kenyataan, sebagaimana kehidupan sosial-budaya masyarakat. Sederhana tetapi pesannya dapat.

Jika kamu mengira semua kumcer ini membahas tentang kisah persoalan yang dihadapi seseorang di usia 26 tahun maka kamu akan mendapatkan kekecewaan. Novel ini tidak hanya membahas persoalan tentang pernikahan dan karir tetapi juga keluarga, nasionalisme, bahkan religi. Tokohnya ada yang masih remaja bahkan usia belia, kelas 3 SD. Sungguh menarik.

Di dalam kumcer ini juga ada beberapa quotes yang bagus.

Taukah kamu apa itu cinta? Ia bukan tempat bertukar syahwat semata. Ia bukan kendaraan yang mengantarkan ke mana tujuan akhirmu lalu kamu meninggalkannya. Ia…, like a game. Sometimes you win, sometimes you lose. As simple as that.” -hlm 12

Cinta sejati tidak pernah mencari. Cinta sejati itu saling menemukan.” -hlm 14

Ketika saya mendapati informasi kalau negara lain berkompetisi dalam ilmu pengetahuan, di kampung saya malah berkompetisi soal pacar atau istri siapa paling bahenol.” -hlm 27

Sayangnya, bacaan yang ringan dan menyenangkan ini bagi saya ada kisah yang berakhir menggantung, kurang detail. Mungkin penulis ingin membebaskan imajinasi pembaca dalam mengakhiri sebuah cerita. Selain itu, saya agak kesulitan mengartikan kosakata bahasa daerah di dalamnya. Di dalam kumcer tersebut tidak disediakan semacam Glosarium atau catatan kaki. Saya harus membuka situs internet Eyang Google untuk mencari terjemahan bahasa daerah, yang mana bukan bahasa ibu saya.

Terlepas dari kekurangannya, kumcer ini dapat dijadikan alternatif untuk mengisi hari libur kamu. Selamat berlibur! Selamat membaca! 💖😊

Tinggalkan komentar