[Resensi Buku Anak] Sekolah Gadis Cilik Yang Revolusioner

Foto Buku Anak Totto-chan: Gadis Cilik Di Jendela by Senja Bahasa

Judul                     : Totto-chan: Gadis Cilik Di Jendela

Judul Asli              : 窓ぎわのトットちゃん (Madogiwa no Totto-chan)

Penulis                   : Tetsuko Kuroyanagi

Alih Bahasa            : Widya Kirana

Penerbit                : PT Gramedia Pustaka Utama

Cetakan                 : Ke-27

Tahun Terbit         : 2019

Tempat Terbit      : Jakarta

ISBN                    : 978-602-06-3601-6

Tebal                    : 296 halaman

Ukuran                  : 13.5 x 20 cm

Harga                    : Rp 137.000,00

Rating                   : 4.5⭐/5⭐

“Seandainya sekolah di Indonesia seperti sekolahnya Totto-chan….”, “Seandainya semua pendidik di negeri ini mempunyai pemikiran seperti Kepala Sekolah Sosaku Kobayashi….”, “Seandainya para orang tua mempunyai pemikiran terbuka dan sabar seperti Papa dan Mama Totto-chan….”. Itulah beberapa rangkaian kata andaian yang ada di benak saya saat dan usai membaca buku yang revolusioner sekaligus menakjubkan dari Tetsuko Kuroyanagi ini.

Tetsuko Kuroyanagi lahir di Nogisaka, Tokyo, 9 Agustus 1933. Ia adalah seorang aktris Jepang Internasional yang masyhur; pembawa acara talk show; penulis buku anak terlaris Totto Chan: The Little at the Window dan Totto-chan’s Children: A Goodwill Journey to the Children of the World; World Wide Fund untuk penasihat alam, dan Good Will Ambassador untuk UNICEF.

Buku ini merupakan kisah nyata Tetsuko Kuroyanagi yang didasarkan memori masa kecilnya. Saat kecil ia lebih akrab disapa Totto-chan. Apabila kamu pernah mendengar kisah Thomas Alva Edison yang dikeluarkan di tahun pertama saat di bangku Sekolah Dasar (SD) maka hal serupa itulah yang juga dialami oleh Totto-chan.

Totto-chan dianggap nakal oleh gurunya. Ia mencoret-coret meja belajar dengan alat tulisnya, sering membuka dan menutup laci meja belajarnya dengan keras, hingga berdiri di jendela kelas selama pelajaran berlangsung hanya untuk menanyakan “Kau sedang apa?” kepada seekor burung Walet. Ia juga sering memandang ke luar jendela menunggu pemusik jalanan. Lebih dari itu, saat pemusik jalanan lewat, ia akan berteriak dan membuat teman-temannya ke luar kelas menonton pemusik jalanan. Akibat ulah Totto-chan proses belajar mengajar menjadi tidak lagi kondusif. Gurunya menganggap yang dilakukan Totto-chan sudah di atas normal, tak dapat ditoleransi lagi sehingga ia dirasa pantas untuk dikeluarkan dari sekolah. Padahal Gadis Cilik itu hanya memiliki rasa ingin tahu yang besar dan tak akan berhenti sampai rasa ingin tahunya itu terpuaskan.

Setelah dikeluarkan dari sekolah, Mama pun mendaftarkan Totto-chan ke sekolah Tomoe Gakuen. Mama berharap Totto-chan betah dan tidak memancing keributan di sekolah barunya. Di luar dugaan Mama, Totto-chan girang sekali dan selalu bersemangat saat berangkat ke sekolah. Setelah ditelisik ternyata metode pendidikan yang digadang oleh Kepala Sekolah Mr. Kobayashi tidak seperti metode pendidikan pada umumnya. Apa yang membuat Totto-chan kerasan di sekolah barunya? Hal menarik apa yang dilakukan Totto-chan dan teman-temannya? Metode pendidikan seperti apa yang diusung oleh Mr. Kobayashi? Kalau kamu penasaran sila baca bukunya. 😊

Kelebihan buku ini sangat banyak, mulai dari fisik, tema, gaya bahasa, penokohan, isi, hingga amanat cerita. Atas berbagai kelebihan itu maka tak heran jika buku ini mendulang kesuksesan dan terjual hingga 4.500.000 eksemplar dalam setahun.

Kemasan hard-cover dan jilidan yang bagus membuat pembaca semakin tertarik untuk memeluknya. Ilustrasinya juga tak kalah menarik, sederhana, dan lucu. Judul buku pas, mewakili salah satu suasana yang pernah dialami oleh Totto-chan.

Meskipun aku biasa berdiri dekat jendela karena pilihan sendiri, sambil berharap bisa melihat para pemusik jalanan, aku benar-benar merasa berada “di jendela” di sekolah yang pertama itu—terasing dan terpencil sendiri.” (hlm 279)

Tema yang diangkat dalam buku ini adalah pendidikan. Sistem pendidikan yang ditawarkan dalam buku ini tak seperti sekolah konvensional lain. Mulai dari bangunan sekolah yang unik, yakni dari gerbong kereta api yang dijadikan kelas, menu bekal makanan yang harus dibawa dari rumah (sesuatu dari lautan dan pegunungan), hingga kurikulum sekolah yang diajarkan dengan cara yang menyenangkan sesuai dengan fitrah anak, yakni melalui permainan. Metode pendidikan yang diusung di Tomoe Gakuen tersebut mampu membentuk karakter anak dengan baik.

Entah bagaimana, kehidupan sehari-hari di Tomoe telah mengajarkan bahwa mereka tidak boleh mendorong orang yang lebih kecil atau lemah daripada mereka, bahwa bersikap tidak sopan berarti mempermalukan diri sendiri, bahwa setiap kali melewati sampah mereka harus mengambilnya dan membuangnya ke tempat sampah, dan bahwa mereka tidak boleh melakukan perbuatan yang membuat orang lain kesal atau terganggu.” (hlm 97)

Dalam buku ini penulis mengambil sudut pandang orang ketiga yang serba tahu.

“Ketika Mama dan Totto-chan masuk, pria yang ada di kantor itu bangkit berdiri dari kursinya.” (hlm 25)

Penulis sungguh piawai menuliskan kisah dengan gaya bertutur yang asyik, polos, dan lugas, mewakili kehidupan anak-anak. Tak jarang saat membaca buku ini, kita akan dibawa kembali ke beberapa momen masa kecil yang menyenangkan. Selain itu, berkat bahasa yang sederhana membuat buku ini mudah dipahami. Tidak mengagetkan apabila buku ini telah dibaca oleh semua kalangan, mulai dari anak usia 7+ hingga usia 100+ tahun.

Alur dalam cerita ini adalah mundur. Cerita ini merupakan kisah nyata penulis pada masa lalunya ketika masih bersekolah. Tepatnya saat Perang Dunia ke-II berlangsung. Oleh karena kisah dalam buku ini didasarkan pada memori penulis maka buku ini tidak ingin dimasukkan penulis ke dalam buku non-fiksi.

Tokoh dalam buku ini cukup banyak, antara lain: Totto-chan, Papa, Mama, Mr. Kobayashi, guru-guru dan murid-murid Tome Gakeun (Takahashi, Tai-chan, Miyo-chan, Sakko-chan, Yasuaki-chan, Oe, Ryo-chan, dan sebagainya). Di antara tokoh-tokoh tersebut, Mama dan Kepala Sekolah merupakan tokoh favorit saya.

Mama Totto-chan dikisahkan mempunyai sifat penyayang, sabar, pengertian, dan bijak.

Mama tidak bilang kepada Totto-chan bahwa dia dikeluarkan dari sekolah. Dia tahu, Totto-chan tak akan mengerti mengapa dia dianggap telah berbuat salah dan Mama tidak ingin putrinya menderita tekanan batin, jadi diputuskannya untuk tidak memberitahu Totto-chan sampai dia dewasa. Mama hanya berkata, “Bagaimana kalau kau pindah ke sekolah baru? Mama dengar ada sekolah yang sangat bagus.” (hlm 19)

Di buku ini tertulis bahwa penulis tidak sadar bahwa pernah dikeluarkan dari sekolahnya yang pertama. Mamanya telah berhasil menyimpan rapat kisahnya dan baru mengatakannya saat penulis sudah berusia sekitar 20 tahun.

Mr. Kobayashi merupakan tokoh yang saya kagumi. Sejak awal kemunculannya saya sudah dibuat jatuh cinta dengan sifat dan sikapnya yang berdedikasi tinggi terhadap pendidikan anak. Mr. Kobayashi merupakan Kepala Sekolah sekaligus otak cemerlang dibalik kesuksesan metode pendidikan Tomoe Gakeun. Beliau sosok yang visioner, perhatian, baik hati, dan percaya diri. Beliau juga berani menjadi sosok yang berbeda. Dari Mr. Kobayasi saya belajar bahwa sudut pandang pendidik yang tak biasa akan menghasilkan anak didik yang luar biasa.

Mr. Kobayashi sering berkata kepada para guru Taman Kanak-kanak agar tidak mencoba memaksa anak-anak tumbuh sesuai bentuk kepribadian yang sudah digambarkan. “Serahkan mereka pada alam,” begitu katanya. “Jangan patahkan ambisi mereka. Cita-cita mereka lebih tinggi daripada cita-cita kalian.” (hlm 276)

Buku ini sarat akan pesan humanis. Di buku ini ditunjukkan cara memanusiakan manusia lewat pendidikan. Hal-hal yang mungkin dianggap kecil dan remeh ternyata sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang dan pola pikir anak kelak di masa dewasanya. Berikut beberapa pelajaran yang saya dapatkan dari kisah Totto Chan: Gadis Cilik Di Jendela.

Menumbuhkan Rasa Berani Pada Anak

Metode pengajaran anak tidak hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Cara berpikir Kepala Sekolah sungguh out of the box. Hal itu dapat dilihat saat Kepala Sekolah mengajarkan anak didiknya untuk tidak takut terhadap hantu melalui sebuah permainan yang diberi nama Tes keberanian di Kuil Kuhonbutsu. Tes itu diadakan pada malam hari.

Dalam permainan tersebut ada 7 murid yang berperan sebagai hantu yang bertugas menakuti murid lain, sedangkan sisanya mengatur diri menjadi beberapa kelompok, masing-masing terdiri lima anak. Mereka harus menyelesaikan misi berjalan hingga sampai ke Kuil Kuhonbutsu. Sebelum berangkat Kepala Sekolah menjelaskan bahwa anak-anak diperbolehkan kembali tanpa menyelesaikan rute.

Dari permainan tersebut tak ada satu kelompok pun yang menyelesaikan misi. Akibatnya, para hantu kembali ke sekolah dalam keadaan menangis karena ketakutan dan menunggu terlalu lama. Selain itu, ada pula hantu yang melompat dan bertubrukan dengan murid lain yang menyelesaikan misi. Oleh karena sama-sama kaget dan takut mereka berlari kembali ke sekolah. Sungguh saya dibuat cekikikan membaca kisah mereka. Cerita itu berhasi membuat saya bernostalgia dengan masa remaja saya saat jurit malam di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).  

Sejak Malam itu, murid-murid Tomoe tak pernah lagi takut hantu. Mau takut bagaimana? Hantu saja ternyata bisa takut, kan?” (hlm 91)

Menumbuhkan Rasa Percaya Pada Anak Yang Mempunyai Kekurangan Fisik

Setiap tahun di Tomoe Gakeun terdapat Hari Olahraga. Hari Olahraga merupakan hari unik dan ditunggu-tunggu oleh anak-anak. Pada hari itu Kepala Sekolah menciptakan berbagai lomba cabang olahraga yang tidak membutuhkan alat-alat khusus dan rumit. Di antara peserta ada anak yang mempunyai kekurangan fisik, yakni Takahashi. Namun, secara menakjubkan hampir semua cabang olahraga dimenangkan oleh Takahashi.

Mungkin Kepala Sekolah berharap anak itu akan terus mengingat rasa bangga dan bahagia ketika memenangkan Hadiah-hadiah Pertama, sebelum tumbuh rasa rendah diri dalam diri Takahashi karena ukuran tubuhnya dan kenyataan bahwa tubuhnya sudah berhenti berkembang. Dan mungkin, siapa tahu, Kepala Sekolah telah memikirkan dengan cermat semua cabang olahraga khas Tomoe, justru agar Takahashi bisa menjadi juara pertama dalam berbagai cabang olahraga.” (hlm 143)

Sungguh saya dibuat terenyuh dengan perbuatan mulia Kepala Sekolah.

Tidak cepat memberi label pada anak yang bertingkah “aneh”

Sudut pandang guru di sekolah Totto-chan yang lama dengan Kepala Sekolah di sekolah barunya dalam menghadapi perilaku Totto-chan sungguh kontras. Di sekolah yang lama Totto-chan disebut anak nakal hingga menyebabkan dia dikeluarkan dari sekolah. Sebaliknya, di Tomoe Gakeun, ia mendapatkan untaian kata indah dari Mr. Kobayashi, “Totto-chan, kau benar-benar anak baik, kau tahu itu kan?” Perkataan itulah yang tertanam di hati dan pikiran Totto-chan bahwa dia anak baik. Coba bayangkan apa yang terjadi di masa depan kalau Gadis Cilik itu dilabeli sebagai anak nakal, mungkin ia akan tumbuh menjadi anak yang berperilaku buruk dan tidak percaya diri.

“Dalam kasusku sendiri, sulit bagiku untuk mengukur betapa aku sangat tertolong oleh caranya mengatakan padaku, berulang-ulang, ”Kau anak yang benar-benar baik. Kau tahu itu, kan?” Seandainya aku tidak bersekolah di Tomoe dan tidak pernah bertemu Mr. Kobayashi, mungkin aku akan dicap “anak nakal”, tumbuh tanpa rasa percaya diri, menderita kelainan jiwa dan bingung.” (hlm 268)

Belajar Sesuai Minat dan Bakat Anak

Hal yang paling kontras antara sekolah Tomoe Gakeun dengan sekolah umum lainnya adalah metode belajarnya. Apabila mata pelajaran di sekolah lain sudah dijadwalkan dan diprogramkan oleh pihak sekolah maka di Tomoe Gakeun para muridlah yang mempunyai wewenang penuh untuk memilih dan mengubah urutan pelajaran sebagaiamana yang mereka kehendaki.  

Kebebasan murid untuk memilih pelajaran yang ingin mereka pelajari inilah yang membuat sekolah Tomoe begitu unik dan membuat anak didiknya kerasan. Sebaliknya, jika pihak sekolah menjadwalkan dan “memaksa” murid untuk mengikuti aturan maka anak akan merasa tertekan, bosan, dan tidak menemukan keasyikan dalam belajar lagi. Hal itu disebabkan adanya kemungkinan mata pelajaran yang tidak disenangi murid.

Di Tomoe, ada anak yang memulai dengan belajar menggambar, ada pula yang belajar fisika, dan sebagainya. Dengan demikian, diharapkan anak didiknya dapat lebih mudah dan cepat dalam menemukan bakat dan minatnya. Selain itu, juga untuk mempersiapkan anak didiknya menjadi ahli dalam bidang tertentu saat sudah dewasa nanti. Dampak dari metode pengajaran di Tomoe Gakeun ini dapat dilihat dari kehidupan para alumninya. Pada bagian Epilog, kamu akan menemukan fakta kesuksesan kehidupan alumni Tomoe Gakeun masa dewasa.

Selain hal di atas, sebenarnya masih banyak pelajaran dan model pendidikan yang dapat diambil pelajaran dari buku ini. Akan tetapi, saya tidak dapat menjelaskan semuanya karena dikhawatirkan akan mengandung spoiler dan kurang mengundang rasa penasaran kamu. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa isi buku ini sangat bermanfaat dan sayang untuk dilewatkan. 😀

Semua kisah yang terangkum dalam 63 bab di buku ini sungguh luar biasa. Berbagai metode pendidikan di atas—yang menurut saya tak biasa ditemukan di sekolah pada umumnya—menjadikan buku ini layak disebut buku revolusioner, terbaik, dan menakjubkan. Tomoe Gakeun berani mendobrak sendi-sendi pendidikan yang sebenarnya tidak cocok diterapkan untuk anak SD. Setelah buku Totto-chan terbit, tidak mengejutkan bahwa buku ini telah resmi menjadi materi pengajaran.

“Dengan persetujuan Kementerian Pendidikan, bab “Guru Pertanian” akan digunakan di kelas tiga pelajaran bahasa Jepang mulai tahun depan, dan bab “Sekolah Tua yang Usang” di kelas empat untuk pelajaran etika dan budi pekerti.” (hlm 281)

Di banyak negara, buku Totto-chan juga digunakan sebagai bahan pelajaran sekolah, materi kuliah di universitas, bahkan sebagai bahan ajar guru.” (hlm 284)

Di dalam buku ini juga ditemukan quotes yang menggambarkan dunia pendidikan.

“Karena bagi mereka yang benar-benar memikirkan pendidikan bagi anak-anak, mengelola sekolah pasti adalah rangkaian masalah yang terjadi setiap hari.” (hlm 203)

Dari berbagai kelebihan yang dimiliki, buku ini juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama, beberapa kisah yang disampaikan terlalu singkat sehingga pembaca (saya) kadang kurang dapat merasakan emosi di dalamnya. Kedua, saya agak kesulitan memahami apa yang dimaksud penulis ketika menjelaskan contoh kosa-kata bahasa Jepang yang sulit diucapkan oleh anak-anak. Hal itu (mungkin) juga karena adanya perbedaan budaya dan minimnya pengetahuan saya akan tata bahasa Jepang, seperti jenis-jenis puisi bahasa Jepang. Meskipun demikian, saya tidak bosan untuk menyelami kisah yang tersaji di dalamnya. Di sisi lain saya justru berterima kasih karena berkat buku ini saya menjadi tahu beberapa istilah dan kosa-kata Jepang.

Secara keseluruhan cerita di dalamnya manis dan menyentuh ulu hati. Saya menjadi semakin tertarik dengan dunia pendidikan anak. Usai membaca buku ini, banyak pertanyaan yang memenuhi kepala saya, “Adakah sekolah di Indonesia yang menerapkan sistem pendidikan seperti Sekolah Tomoe Gakuen?”, “Adakah pendidik yang mempunyai pandangan visioner serupa Pak Sosaku Kobayashi?” Kalau ada beruntung sekali anak didik yang sekolah di situ. Tak ada anak yang merasa dikucilkan dan bosan sekolah, seperti yang dirasakan Totto-chan di sekolah lamanya. Gadis cilik itu lebih menyukai berada di balik jendela, melihat dunia luar daripada mendengar gurunya mengajar.

This is a GREAT book, worth reading! Buku ini sangat cocok untuk segala kalangan, mulai dari anak-anak (usia 7+) hingga dewasa (usia 100+). Para murid, wali murid, dan pendidik sangat direkomendasikan untuk membaca buku ini. Meskipun kisah dalam buku ini berlatar belakang Perang Dunia II tetapi isinya sungguh revolusioner, tak lekang oleh waktu (out of date) sehingga dapat dibaca pada masa apa pun, kapan pun, dan di mana pun. Selamat membaca! Salam pendidikan! 😊

2 comments

Tinggalkan komentar