[Resensi Novel] Gadis Kretek: Kaya Wangi Tembakau, Sarat Aroma Cinta

Foto E-Novel Gadis Kretek by Senja Bahasa

Judul                     : Gadis Kretek

Penulis                    : Ratih Kumala

Penerbit                 : PT Gramedia Pustaka Utama 

Cetakan                  : Ke-1                                                   

Tahun Terbit           : 2012

Tempat Terbit         : Jakarta

ISBN                     : 978-979-22-8141-5

Tebal                     : 275 halaman

Harga                     : Rp 66.000,00

Rating                    : 4.2⭐/5⭐

Selain di kemasan rokok, kalimat peringatan itulah yang akan kamu jumpai pertama pada novel Gadis Kretek. Novel yang kaya akan perpaduan wangi tembakau dan cengkeh, sarat aroma cinta yang semerbak di setiap lembarnya.

Novel Gadis Kretek merupakan novel pertama Ratih Kumala yang saya baca dan langsung sukaaa. Gadis Kretek tidak sekadar mengisahkan romansa tetapi juga kental dengan nuansa ke-Indonesia-an, mengangkat budaya Jawa. Penulis berhasil menjahit kisah dengan apik, mengkombinasikan antara cinta, keluarga, persaingan bisnis, pertarungan harga diri, budaya, dan sejarah dengan porsi yang pas sehingga membuat pembaca (saya) betah membaca dan berhasil menamatkannya.

Novel ini tergolong fiksi sejarah, bernafas sejarah kretek Indonesia. Mengisahkan bagaimana perkembangan industri rokok Indonesia dari masa ke masa, mulai dari sebelum, saat, dan sesudah bangsa Indonesia merdeka. Pasang surut, lika-liku industri rokok diceritakan dengan telaten tetapi tetap tidak meninggalkan keasyikannya.

Alkisah bermula dari kondisi kesehatan Pak Soeraja, pemilik kretek nomor 1 di Indonesia yang terus menurun. Dalam keadaan sekarat, bukan nama keluarganya yang sering ia sebut. Melainkan nama perempuan yang sayangnya bukan istrinya, nama keramat yang seharusnya tak ia ucapkan; Jeng Yah! Ketiga putranya, pewaris Kretek Djagad Raja yakin kalau permintaan terakhir romonya adalah bertemu dengan Jeng Yah. Lebas, Karim, dan Tegar, hendak mewujudkan permintaan romonya itu. Akan tetapi, mengingat penyakit strok yang berhasil membuat romonya susah berbicara dan hanya mengatakan Kota Kudus membuat mereka kesusahan menggali informasi siapa dan di mana Jeng Yah kini berada. Sementara jika bertanya dengan ibunya, Purwanti, mereka takut membuat ibunya meradang sebab tanpa disangka di usia senjanya nama Jeng Yah sukses membuat ibu mereka termakan api cemburu. Berpacu dengan malaikat maut, berbekal dengan secuil informasi dari romonya, mereka pun pergi ke pelosok Jawa untuk menemukan Jeng Yah.

Perjalanan mencari sosok Jeng Yah itulah yang membuat mereka secara tidak langsung melakukan napak tilas bisnis dan rahasia keluarga. Mengungkap asal-usul Kretek Djagad Raja hingga menjadi kretek nomor 1 di Indonesia. Selain itu, mereka juga mengetahui kisah kasih romonya di masa muda dengan Jeng Yah, putri Idroes Moeria, yang ternyata pemilik Kretek Gadis, kretek produksi lokal Kota M yang terkenal pada zamannya. Rokok kretek yang legendaris dan memiliki cita rasa tak tertandingi. Lantas apakah Lebas, Karim, dan Tegar berhasil menemukan Jeng Yah? Penasaran kan, segera baca novelnya. 😊

Dari awal hingga akhir novel ini mengandung aroma tembakau, cengkeh, dan rokok kretek. Cover Gadis Kretek sangat menarik. Ilustrasi etiket dengan gambar seorang gadis berkebaya memegang rokok mewakili kisahnya yang berlatar belakang pengusaha rokok kretek. Pada tahun 2019, Penerbit gramedia.com mencetak ulang novel dengan cover yang sedikit berbeda. Jika cover cetakan 2012 didominasi warna merah, cover baru dicetak dengan warna biru. Meski demikian tetap cakep dan tidak mengurangi kesan aroma tembakaunya.

Sampul Terbaru Novel Gadis Kretek by Gramedia.com

Selain gambar cover, saya juga suka dengan ilustrasi kemasan kretek yang dikeluarkan oleh masing-masing pabrik (Pabrik Idroes Moeria dan Pabrik Soejagad). Menurut saya ilustrasinya unik dan menarik. Dengan adanya ilustrasi tersebut membuat pembaca tidak kesusahan membayangkan kemasannya.

Gadis Kretek dikisahkan dengan dua sudut pandang. Sudut pandang orang pertama dari tokoh Lebas, sebagai “aku”. Ia adalah anak ketiga dari pasangan Soeraja dan Purwanti. Gaya bercerita yang asyik membuat saya ikut merasakan dengan apa yang dirasakan Lebas. Penulis juga menggunakan sudut pandang orang ketiga, serba tahu sehingga memudahkan pembaca dalam memahami alur cerita dan ikut terhanyut dalam kisah masing-masing tokoh.

Alur Gadis Kretek adalah maju-mundur. Alur maju mengisahkan proses pencarian Jeng Yah oleh ketiga anak Soeraja. Selain informasi yang minim mengenai keberadaan Jeng Yah, perjalanan mereka tidaklah mudah sebab meskipun besaudara, Lebas (anak ketiga) dan Tegar (anak pertama) memiliki hubungan yang kurang akrab. Sering berbeda pendapat dan berujung cekcok. Karim (anak kedua) sampai dibuat kewalahan untuk menengahi mereka. Hal itu cukup menghambat perjalanan mereka ke Jawa. Sementara alur mundur lebih ke perjalanan kisah generasi pertama dan kedua dalam merintis bisnis rokok.

Perlu diketahui bahwa secara garis besar novel ini mengisahkan tiga generasi dari dua keluarga di Kota M yang saling berseteru. Kedua keluarga tersebut berselisih sebab dua hal, kretek dan cinta. Diawali dengan kisah persaingan generasi pertama (Idroes Moeria dan Soejagad) merebutkan gadis pujaan dan persaingan bisnis kretek di era penjajahan Belanda-Jepang. Kemudian berlanjut pada kisah generasi kedua (Dasiyah, Soeraja, dan Purwanti) di masa G30S, dan akhirnya cerita ditutup di generasi ketiga yang mengungkap kisah persaingan keluarga mereka dengan cara yang menurut saya kurang greget tetapi bijak dan elegan. Tidak mudah merajut kisah tiga generasi keluarga dengan tetap mengatur ritme agar pembaca penasaran dengan konfliknya. Namun, menurut saya kisah ini diselesaikan dengan baik dan plot twist yang membuat tebakan saya sedikit meleset. Mantap!

Tokoh dan penokohan dalam novel ini tidak diperlihatkan secara jelas, mana tokoh yang protagonis dan mana yang antagonis. Setiap karakternya ditunjukkan kebaikan dan keburukannya masing-masing. Seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa manusia tidak sepenuhnya sempurna, pasti ada sifat baik dan buruknya. Namun, dari berbagai tokoh, keluarga Gadis Kreteklah yang menarik perhatian saya, terutama ayah dan ibunya, Idroes Moeria dan Roemaisa.

Kehidupan yang dijalani keluarga Idroes Moeria tidaklah mudah. Jatuh bangun kehidupan tidak lantas membuat Idroes Moeria, Roemaisa (istrinya), Dasiyah/Jeng Yah (putri pertama), dan Rukayah (putri kedua) menyerah dengan nasib. Idroes Moeria adalah laki-laki yang pandai menangkap peluang bisnis, cepat belajar, tidak cepat puas, selalu mempunyai ide cemerlang dan strategi jitu dalam mengembangkan bisnisnya. Sebelumnya ia hanya seorang buruh rokok tetapi berkat mimpi dan ambisinya yang besar ia berhasil menjadi pengusaha rokok. Ketika usaha yang dirintisnya mulai maju, ia ditangkap oleh penjajah dan di bawa ke Surabaya. Bisnisnya pun berhenti. Ia harus berpisah dengan istri dan calon anaknya. Namun, setelah kemerdekaan ia dibebaskan. Lalu ia bersama istrinya bangkit lagi membangun kerajaan bisnis rokok. Berkat pengamatannya yang jeli saat dipenjara, ia menjadi tahu bahwa ada jenis rokok selain klobot. Ia pun tidak menjual Klobot Djobojojo lagi melainkan rokok Kretek Merdeka.

“Idroes Moeria punya cita-cita, ia ingin menjadi pelopor pembaharuan industri kretek di Kota M. Ia akan menjadi ‘orang pertama yang memikirkan untuk melakukan ini-itu’, dan pengusaha kretek lainnya di Kota M akan mengikuti jejaknya.” (hlm 95)

Saya salut dan kagum dengan sosok Roemaisa. Sebelumnya ia digambarkan sebagai putri juru tulis, lemah lembut, halus budi tetapi peristiwa hilangnya suaminya tanpa kabar—yang menurut informasi suaminya itu diculik oleh penjajah—menjadi titik baliknya. Mulanya ia sempat depresi, stres hingga membuatnya keguguran. Sudah jatuh ketimpa tangga pula. Namun, suatu hari ia bangkit dari keterpurukannya. Ia yakin suaminya masih hidup dan pasti akan kembali. Ia berubah menjadi wanita yang kuat dan tegar. Sambil menunggu suaminya, ia pun melanjutkan bisnis suaminya dengan menjual Klobot Djojobojo ke toko Apotek.

Tokoh Dasiyah alias Jeng Yah merupakan sosok putri yang mewarisi kecerdasan dan kecantikan ibunya, serta kegigihan dari ayahnya. Ia digambarkan sebagai seorang gadis yang berani, tegas, bijak, sekaligus membuat orang di sekitarnya menaruh hormat padanya. Ia lihai dalam melinting kretek dan memiliki insting yang bagus dalam mengembangkan usaha dagangnya. Ia tak kalah mengagumkan dengan ayahnya.

Kemudian Rukayah, putri bungsu Idroes Moeria dan Roemaisa. Mulanya saya masih meraba-raba karakter Rukayah. Porsinya sangat sedikit, ia hanya dikisahkan sebagai adik Dasiyah yang selalu mengikuti apa yang dilakukan oleh Mbak Yunya itu. Namun, menjelang akhir kisah saya menjadi kagum dengan kebijaksanaannya.

Kekuatan novel ini terletak pada ide cerita dan racikan yang apik yang dilakukan oleh penulis. Saya tidak menyangka rokok kretek yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat dapat disulap menjadi novel yang luar biasa keren. Ia mampu memadukan antara cinta, keluarga, bisnis dalam balutan sejarah dan budaya. Tidak heran jika berkat novel ini Ratih Kumala masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award 2012. Lebih dari itu, novel ini juga telah dialihbahasakan dalam dua versi, yakni bahasa Jerman dengan judul Das Cigarettenmadchen (Culturbooks, 2015) dan bahasa Inggris Cigarette Girl (Moonsoon Books, UK, 2017).

Sebenarnya dunia industri rokok bukan hal asing bagi saya—mengingat di kota kelahiran saya berdiri salah satu pabrik rokok kretek terbesar di Indonesia—tetapi saat membaca novel ini, saya merasa mendapatkan informasi baru mengenai rokok, baik sejarahnya, prosesnya, rasanya, hingga resep rahasia racikan rokok. Saya sangat mengapresiasi penulis yang berusaha meramu semua unsur tersebut dengan porsi yang pas dan riset yang serius sekaligus mendalam mengenai industri rokok Indonesia.

Dari segi sejarah, pembaca akan diajak ke masa sekitar tahun 1940-an sampai 1965. Pada masa itu di Indonesia sedang berlangsung penjajahan Belanda dan Jepang hingga terjadinya G30S. Berbagai peristiwa itu ternyata turut mewarnai lika-liku perjalanan bisnis rokok rumahan hingga menjadi rokok ternama di Indonesia. Dalam kisah masa lalu ini, pembaca akan diperkenalkan dengan kisah panjang perjuangan dan persaingan bisnis kretek yang dilakukan oleh generasi pertama perintis rokok kretek Djagad Raja, Idroes Moeria (ayah Jeng Yah/Gadis Kretek) dengan Soejagad (ayah Purwanti). Pada bagian ini saya menikmati dan merasakan rangkaian cerita dan latar yang begitu detail dan apik.

Dari novel ini saya juga mendapatkan informasi kalau dahulu rokok pernah diperjualbelikan di toko obat sebab kandungan cengkeh dalam rokok dipercaya dapat menyembuhkan penyakit asma. Selain itu, pada zaman dahulu wajah pembuat kretek dipasang di kemasan rokok sehingga orang mengetahui si pembuat rokok.  

Kata kretek yang dijadikan judul tidak hanya sekadar tempelan. Di novel ini, penulis menulis dengan lihai mengenai cara membuat rokok, mulai dari penggunaan daun jagung yang dikeringkan (klobot) lalu diisi tembakau dan cengkeh, klembak menyan, hingga akhirnya papier (kertas pembungkus). Kamu generasi Milenial masih menjumpai klobot tidak? Saya pribadi terakhir melihat klobot dan tembakau sekitar 2,5 tahun lalu, saat acara pengabdian Masyarakat di Boyolali, Jawa Tengah. Di Desa penghasil tembakau tersebut masih banyak masyarakat yang merokok manual, menggunakan klobot, tingwe (linting dhewe).

Selain unsur sejarah, penulis juga pandai meramu latar belakang kisah dengan memasukkan unsur budaya di dalam novel. Penulis menyisipkan cerita legenda Roro Mendut mengenai ludah Roro Mendut yang manis menambah cita rasa rokok. Kisah Roro Mendut ini menguatkan anggapan Idroes Moeria bahwa putrinya Jeng Yah mempunyai ludah yang manis seperti Roro Mendut. Selain itu, kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat juga tak luput dari pengamatan penulis, seperti pesan Mak Iti’, dukun bayi yang membantu Roemaisa melahirkan Jeng Yah kepada Idroes Moeria.

Sebelum pergi, Mak Iti’ berpesan, “Ari-arinya ditaruh di kendil, kubur di depan rumah, kasih sentir, biar terang. Kamu tunggui mulai Maghrib sampai Subuh, seminggu jangan ditinggal.” (hlm 104)

Walaupun Idroes Moeria berusaha menjaga ari-ari (batur) Jeng Yah, belum genap satu minggu ari-ari itu dicuri orang. Membuat satu desa gempar. Namun, entah hanya cocoklogi atau otak-atik gathuk nyatanya peristiwa hilangnya ari-ari Jeng Yah menjadi pertanda yang menggambarkan nasib keluarga Jeng Yah di masa depan.

Ari-ari anakmu dicolong orang yang jadi sainganmu. Untuk syarat mengalahkanmu suatu hari nanti, lewat anakmu ini.” (hlm 115)

Dari segi romansa, novel ini tidak terlalu berlebihan dan pas. Tidak hanya mengisahkan kisah cinta yang kosong. Berkat dibungkus sejarah perjuangan Indonesia, kisah picisan menjadi lebih berbobot. Syahdan Idroes Moeria dan Soejagad adalah sahabat karib tetapi berubah menjadi musuh bebuyutan ketika diketahui mereka mencintai gadis yang sama, Roemaisa. Kisah persaingan cinta itu ternyata juga dialami oleh anak mereka Dasiyah (anak Idroes Moeria) dengan Purwanti (anak Soejagad) yang berusaha merebut hati laki-laki bernama Soeraja. Kalau kisah kasih orang tua mereka diwarnai dengan peristiwa perjuangan Indonesia melawan penjajah, kisah Dasiyah-Soeraja-Purwanti ini dibalut dengan peristiwa G30S. Meskipun sama-sama bertema cinta segitiga, keduanya menyuguhkan kisah cinta yang memiliki kesan berbeda tetapi tetap menarik.

Dalam novel ini juga banyak ditemukan ilmu bisnis yang (mungkin) dapat dijadikan pelajaran. Kita dapat mengetahui cara membuat visi dan misi berbisnis yang baik, bagaimana melihat peluang, cara tidak menyerah dengan kegagalan, mengikuti perkembangan zaman dan pasar, berani mencoba hal baru, strategi marketing, berkongsi dengan perusahaan lain, cara memasang iklan, membuat nilai filosofi sebuah produk, dan masih banyak lagi. Sila temukan sendiri ilmu bisnis lain dalam novelnya, siapa tahu dapat bermanfaat dan dipraktekkan.

Dari berbagai hal mengenai bisnis, nilai yang paling membekas dari novel ini adalah pentingnya kejujuran dalam merintis sebuah usaha. Salah satu bagian yang menarik perhatian saya adalah kisah persaingan antara Idroes Moeria (ayah Jeng Yah) dengan Soejagad (ayah Purwanti, mertua Soeraja). Tidak hanya persaingan cinta tetapi juga persaingan bisnis industri rokok. Berbeda dengan Idroes Moeria yang dengan cepat mampu menangkap peluang bisnis, dalam mengembangkan bisninya Soejagad hanya bisa ngintil ‘meniru’ apa yang dilakukan oleh Idroes Moeria. Mulai dari kemasan produk hingga cara melakukan pemasaran. Saat Idroes membuat klobot dan membungkusnya dengan kertas payung dan diberi merk dagang ‘Djojobojo’ dengan tulisan tangan, tidak lama kemudian munculah klobot milik Soedjagad dengan kemasan serupa. Ketika Idroes Moeria mengeluarkan produk ‘Rokok Kretek Merdeka’, Soedjagad mengeluarkan ‘Rokok Kretek Proklamasi’. Begitupun ketika Idroes Moeria memasang iklan rokok di majalah, Soejagad juga ikut-ikutan. Hal itu membuat Idroes Moeria berang tetapi tak bisa berbuat apapun karena tak punya bukti. Saya sungguh menikmati persaingan bisnis keduanya. Bahkan saya dibuat ketawa ketika Idroes Moeria mengeluarkan produk ‘Kretek Gadis’, seolah tak mau kalah, Soejagad mengeluarkan produk ‘Garwo Kula’. Namun, kali ini Soejagad salah membaca konsumen. Rokok ‘Garwo Kulo’ jatuh di pasaran.

Ketika mereka mengisap rokok, mereka ingin pikirannya dibebaskan bersamaan dengan asap yang terbebas di udara. Dengan nama dagang Kretek Gadis, orang-orang diajak berfantasi tentang perempuan muda nan cantik, yang membuat mereka serasa jantan. Sedangkan, dengan nama Kretek Garwo Kulo, mengingatkan mereka akan istri di rumah yang mungkin jarang dandan, pakaiannya nglombrot, dan cerewet.” (hlm 152)

Saya bukan seorang perokok sehingga saya tidak mengetahui parameter kenikmatan isapan rokok kretek tetapi dari membaca novel ini saya hampir bisa merasakan asap kretek mengelilingi saya dengan rasa yang berbeda. Membangkitkan imajinasi saya akan rasa rokok kretek. 😀

“Beda ya Mas!” Roemaisa berkomentar setelah dua isapan.

“Itu karena ada sausnya.” Idroes Moeria tersenyum.

“Ambune kaya daun jeruk.” (Aromanya seperti daun jeruk)

Lalu, bapak mertuanya ikut berkomentar, “Lah, iki kaya jambu kluthuk.” (Nah, ini seperti jambu biji) (hlm 97)

Gurih itu rasa puas yang membuat orang lain merasa cukup dengan yang itu saja, tak perlu mencoba yang lain, sehingga nantinya akan kembali lagi untuk mencicipi rasa gurih itu.”

“Teh atau kopi memang teman sejalan yang setia dipadukan dengan kretek. Tetapi untuk menentukan jodoh yang tepat, apakah teh atau kopi yang harus disruput, maka harus melihat matahari. Jika matahari di Timur, maka kopi lebih tepat dipadukan dengan kretek. Tetapi jika matahari di Barat, tehlah yang berjodoh dengan kretek.” (hlm 128)

“Matamu boleh saja buta. Tetapi, hidung dan indra perabamu harus bekerjasama.” (hlm 233)

Korek memang sahabat rokok yang sering menghilang. Ia pergi kemana-mana, bertualang. Seolah ia adalah preman pemberani yang bisa mem-bully siapa saja dengan apinya.” (hlm 246)

Dari berbagai kelebihan yang dimiliki novel Gadis Kretek kita menjadi tahu bahwa novel ini menyinggung banyak perkara. Mulai dari hubungan keluarga, kegigihan, kesetiaan seorang wanita, ego seorang laki-laki, dan usaha untuk terus memperbaiki diri.

Adapun beberapa hal yang menjadi kekurangan dalam novel ini. Pertama, kisah Gadis Kretek yang menjadi judul dalam novel ini porsinya kurang banyak, kurang tergali. Ketika membaca novel ini saya tidak lantas mengetahui siapa Jeng Yah. Saya menunggu dengan sabar kapan tokoh Jeng Yah ini muncul. Lebih kurang separuh halaman didominasi oleh kisah perjuangan dan persaingan generasi pertama, Idroes Moeria (ayah Jeng Yah) dengan Soedjagad (mertua Pak Soeraja) dalam memulai dan membangun kerajaan bisnis kretek mereka, sementara Jeng Yah berasal dari generasi kedua.

Kedua, di dalam novel ini saya masih menemukan beberapa salah ketik (typo), penulisan nama tokoh yang tertukar atau tidak sesuai, dan ketidakkonsistenan dalam menggunakan ejaan lama. Oleh karena novel yang saya baca adalah cetakan pertama pada tahun 2012, saya berharap kesalahan seperti itu tidak ditemukan dalam cetakan terbaru (2019).

Ketiga, saya merasa terganggu dengan sebutan nama Kota M. Pasalnya nama-nama Kota lain ditulis dengan gamblang, seperti Kota Kudus, Magelang, Jakarta, Soerabaya. Sementara Kota M tetap menjadi misteri hingga akhir cerita. Penulis hanya memberikan clue letak kota M berada di antara Magelang dan Jogjakarta, serta hanya memiliki satu jalan utama. Saya pernah membaca salah satu reviewer novel ini menebak bahwa Kota M adalah Kota Muntilan. Terlepas benar atau tidaknya, saya mengucapkan terima kasih, setidaknya sedikit tercerahkan. 😊

Keempat, saya dibuat penasaran mengenai siapa yang mencuri ari-ari Jeng Yah. Sampai akhir cerita saya tidak menemukan pelakunya. Tidak dibahas lebih lanjut sehingga saya hanya mampu menerka-nerka pelaku pencuri ari-ari berdasarkan akhir cerita nasib keluarga Jeng Yah.

Kelima, di awal kisah sampai pertengahan saya menikmati kisahnya tetapi ketika menjelang akhir terkesan harus cepat selesai. Padahal sebelumnya ritmenya terjaga, runtut menjadi sedikit berantakan, seperti ada bagian yang sengaja dipotong. Meski demikian saya cukup dibuat terkejut dengan ending yang sedikit meleset dari tebakan saya. Penasaran dong, kuy segera baca novelnya!  

Terlepas dari ketidaksempurnaannya, novel ini memberikan kesan tersendiri buat saya. Tidak hanya mengisahkan kasih yang tak sampai, kejamnya dunia bisnis, dan soal harga diri, melainkan juga sebuah novel yang dalam kapasitasnya berusaha menyampaikan sejarah rokok kretek Indonesia, baik dari segi sejarah maupun budayanya. Bagi kamu yang menyukai historical fiction, buku ini patut kamu baca. Buku yang sarat pesan, makna, konflik, dan ilmu yang diracik dengan amat menarik. Selamat membaca dan menghisap sedapnya aroma tembakau! 😊

*Fyi, Saya baca e-novel ini di aplikasi @ipusnas yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Gratis, hanya modal kuota untuk download. Lumayan menghemat tabungan dan yang paling penting e-book di dalamnya ini asli, bukan bajakan. #salamliterasi

Tinggalkan komentar